Rabu, 07 Januari 2015

My Steps from Gontor to Germany part 2

Bismillahirrahmanirrahim..
Germany

Berawal dari keputusan awalku untuk melanjutkan studiku ke Jerman dengan niat yang kuat walaupun berasal dari keluarga yang sederhana, Allah memberiku kesempatan untuk melanjutkan studiku ke negara impian itu. Ingatlah teman bahwa semuanya itu akan terlihat tidak mungkin sampai ternyata engkau bisa melakukannya.  
Oh iya, buat teman2 yang belum baca Part 1, klik aja. http://sangpengejarmatahari.blogspot.de/2014/07/my-steps-from-gontor-to-germany-part-1.html
terus yang belum baca cerita Si Katak Wisuda, baca ya...klik aja Katak Wisuda
Aku berangkat ke Jerman sendiri tanpa agen. Semua diurus sendiri. Bukannya aku gak mau menggunakan jasa Agen yang serba mudah tinggal bayar dan bisa dengan mudah terbang ke Jerman, tapi memang orang tuaku tidak memiliki uang banyak untuk membiayai agen. Hal ini yang memaksaku mandiri dan harus mengurus semua sendiri dari pembuatan paspor, visa, kursus bahasa di Indonesia, Jerman, tiket pesawat, mengurus berkas2, rekening Bank dan masih banyak lagi. Akupun melanjutkan studi di Jerman dengan beasiswa dari orang tuaku . Bukan dari keluarga yang kaya namun alhamdulillah Allah masih memberi rizqi lebih kepada kedua orang tuaku. Itulah sebabnya aku sendiri kurang begitu mengerti tentang beasiswa beasiswa lainnya. Ini memang bukan hal yang mudah tapi bisa untuk dilakukan dan diperjuangkan asal memiliki niat tekad dan usaha yang konsisten.
Kota Cologne, Dekat Bonn
Tepat pada tanggal 26 Desember 2013 dini hari aku menaiki pesawat Etihad Airways untuk pertama kalinya, pesawat yang membawaku terbang menuju Jerman. 18 jam aku terbang, pikiranku bercampur aduk antara senang sedih resah dan gelisah. Senang karena siapa sangka setelah perjuangan yang tidak mudah  saat masih di Pondok dulu hingga aku bisa menyelesaikan Studi Sarjanaku di Gontor dan perjuangan saat di Jakarta yang ku fikir banyak keajaiban doa terjadi, sampai aku bisa duduk dipesawat yang akan landing di Frankfurt Jerman jam 1 siang ini. Sedih tentu karena aku tidak tau kapan aku akan pulang ke indonesia dan kembali bertemu dengan keluargaku lagi. Biaya untuk berangkat saja susah, bagaimana bisa memikirkan biaya untuk pulang. Resah karena aku tak tau apa yang bisa aku lakukan disana, hal yang bisa bermaanfaat untuk nusa bangsa dan negara. Aku ini hanya anak muda akhir zaman, yang kata orang, pinter kagak, sholeh jauh. Apakah aku akan pulang dengan tangan kosong tanpa ilmu dan tanpa kebanggaan paling tidak untuk kedua orang tuaku?. Akupun gelisah karena saat keberangkatanku ke Jerman ini, sama sekali aku belum mendaftar sekolah di Jerman. Aku hanya mendaftar disekolah bahasa selama dua minggu saja. Setelah itu, aku belum ada rencana lain kecuali daftar-daftar ke Studienkolleg selepas kedatanganku ke negeri panser ini, bahkan surat undangan untuk ikut tes masuk studienkolleg saja aku belum punya, dimana teman teman yang lain banyak yang  sudah punya surat undangan tes masuk itu saat mereka terbang ke Jerman. Bahkan tidak sedikit pula yang sudah diterima di Studienkolleg sebelum mereka terbang ke Jerman karena mereka mengikuti ujian tes masuk di Indonesia. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit, sedangkan aku? Mana ada biaya...itulah yang berkecamuk di fikiranku bagaimana jika aku tidak diterima di sekolah disini, karena telat daftar, karena tidak bisa mengerjakan soal ujian yang aku tidak tau bagaimana model soalnya. Tapi tidak apa, karena aku bisa daftar ketika aku dah sampai di jerman. Oh iya, Studienkolleg itu adalah sekolah penyetaraan, wajib untuk calon Sarjana Bachelor atau lulusan SMA selama 2 semester sebelum masuk ke Universitas Universitas di Jerman.
Jadi saat kedatangan ku di Jerman tanggal 26 Desember 2013, aku dijemput teman baikku di Bandara Frankfurt dan langsung diajak kamarnya di kota Bonn, Jerman Barat, sekitar perjalanan 3 jam dari Frankfurt pake kereta. Sebut saja namanya Aldi, dia teman yang baik yang sudah membantuku mendaftar sekolah bahasa disini. Sekolah bahasaku di VHS Bonn akan dimulai tanggal 15 Januari nanti. Aku banyak berharap kepadanya karena dia sudah lumayan lama tinggal di Jerman dan kukira dia banyak pengalaman dan informasi. Memang sebelum keberangkatan kami sering komunikasi lewat Skype. Dia bukan agen sehingga tidak sedikitpun dia meminta imbalan. Dalam perjalanan dari Frankfurt ke Bonn dia tampak gelisah dan tiba tiba bertanya kepadaku. ” Sad, apa rencana kamu selanjutnya? “. Aku benar benar kaget dengan pertanyaan itu. Karena aku sendiri baru sampai di Jerman. Aku berharap dia banyak bercerita tentang Jerman. Bukan bertanya tentang itu. Nanti saja lah kalau sudah sampai di rumah. Aku hanya bisa jawab. “ya..ya..nanti daftar daftar aja ke Studienkolleg. Kirim berkas berkasnya” . bingung juga aku jawabnya. Kemungkinan teman ku ini juga kecapean. Selain itu aku rasa dia merasa punya tanggung jawab besar jika ternyata aku tidak dapat masuk Studienkolleg dan bahkan gagal atau pulang tanpa hasil nantinya. Karena dialah satu satunya informanku sebelum ke jerman.  Apa yang nanti ia katakan ke orang tuaku jika aku gagal sebelum masuk Studienkolleg.
Sesampainya dikamar nya yang tidak begitu luas, kita langsung istirahat. Dia segera memasak Spagetti ala Jerman. Dia kira aku suka, tapi ternyata mulutku belum bisa menerima masakan ini sehingga makanannya tidak kuhabiskan. Kupaksa juga gak bisa. Aku sisakan dan kumasukkan ke kulkas. Itu pertama kalinya aku merasa gak enak dan bersalah sama dia. Dia bilang “yaudah, nanti aku yang makan”. Hening. 
Karena jetlag, jam 7 malam aku dah tidur. Karena memang pada musim dingin, bulan Desember, jam 4 saja sudah masuk waktu maghrib dan sudah gelap, sholat subuhpun jam 6 pagi, karena jam 9 baru terbit matahari. 2 hari aku menumpang dirumahnya, sebagai tamu aku merasa sangat tidak enak, dia pun juga pasti merasa hal yang sama. Mau masak aku  harus izin, mau keluar izin, dst. bagaimana nggak, soalnya temenku ini dalam waktu dekat juga akan menghadapi ujian. Fix aku harus segera pindah dari rumahnya. Tapi pindah kemana? Aku gak tau...dialah temanku satu satunya di Jerman. Tak seorangpun orang indonesia yang aku kenal dikota ini, bahkan di Jerman. Dia segera mencarikan tumpangan buatku. Dia telpon teman temannya siapa tau ada yang bersedia ditumpangi. Alhamdulillah ada satu orang teman yang bisa ditumpangi. Sesegera mungkin aku kemasi  barang dan dia mengantarku ketemuan dengan temannya ini di sebuah restaurant China. Setelah makan, berkenalan dan ngobrol sedikit akhirnya temanku pulang, dan kini aku bersama teman baruku 2 orang. Oh iya, sebelum aku pergi, Aldi memberiku penutup kepala warna hitam untuk musim dingin. Terima kasih kataku. Budi baikmu gak akan terlupakan. Malam itu aku menginap di sebuah apartemen yang tidak begitu luas juga. Dengan kamar mandi dan dapur bersama penghuni kamar apartemen lain. Malam itu kami sekamar bertiga. Temanku yang punya kamar ini bernama Dimas, namun dia sedang kerja di kota Aachen. Jadi dirumahnya dititipkan ke Andre, sekarang tinggal disana temannya, Andre dan Karim. Sungguh mulia hati temanku Andre ini. Dia sudah mau menerimaku sebagai tamu dan memintakan ijin kepada Dimas, padahal kami baru kenal dan aku orang yang belum jelas nasibnya, izin untuk tinggal dikamarnya yang sempit walaupun sudah ada orang lain yang juga menumpang sampai aku mendapat kamar baru nantinya. Besoknya ternyata karim pulang ke Indonesia. Dia tidak jadi belajar di Jerman. Dia akan melanjutkan studinya ke Inggris katanya. Tinggallah kami berdua. Aku dan Andre. Namun baru saja satu malam, aku dapat telepon dari Aldi bahwa ada kamar yang disewakan untuk 2 minggu. Tempatnya tidak jauh dari pusat kota. Setelah nego harga dengan orang Jerman yang menyewakan kamar itu akhirnya deal. Dengan bahasa yang masih belepotan, langsung saja aku iya kan dan aku langsung pindah ke kamar baruku, lumayan kamar yang bagus dengan dapur dan kamar mandi didalam. Perabotan juga sudah lengkap.
Kamarku di Bonn
Satu yang kurang yaitu aku tinggal sendiri. Tidak ada yang bisa aku ajak bertukar fikiran tentang studiku nantinya. Bagaimana daftarnya, kemana saja aku daftar dst. Hari pertama dirumah baru aku gak betah, gimana nggak, rumahnya begitu sangat dingin karena pemanas ruangannya belum berfungsi. Sendiri, dingin, status di Jerman belum jelas pula lengkap sudah penderitaanku. Hhe..Indonesia datang sebagai bayangan indah di fikiranku. Berselimut, mandi air panas, masak sendiri, belum membuatku menjadi tenang. Aku berniat kembali kerumah dimas yang penting aku punya teman. Disana aku bisa bertukar fikiran dan tentu kamarnya lebih hangat. Hari itu segera aku keluar rumah dan mencari masjid yang kemarin sudah ditunjukkan sama Aldi. Dingin nya minta ampun diluar. Lagi lagi sediri. Masjid kecil Turki. Disana aku shalat baca al Qur’an dan menangis sejadi jadinya sendirian dari sore sampai malam. Pokoknya aku sedih.  Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku takut kalau aku gagal. Aku belum punya banyak teman dan aku gak bisa mengganggu Aldi lagi. Kursus bahasaku masih sekitar 2 minggu lagi dimulai. Kosong yang ada. Berjam jam aku mencari kehangatan di Masjid. Beberapa orang melihatku menangis tapi aku tak perduli. Cengeng? Biarin, menangis bukan tanda lemah kok..Waktu itu aku coba kirim pesan ke orang tuaku dan temanku di Indonesia. Aku tau bahwa di Indonesia sudah jam 12 malam. Ortuku pasti sudah tidur. Untung temanku masih bangun dan menasihatiku. “kan belum ada seminggu kak di jerman. Masa udah gak betah. Pasti bisa”, begitulah kira kira katanya. Itulah saat dimana aku benar benar merasa pada titik nol. Titik paling rendah dimana tiada seorangpun yang bisa menolongku di Jerman. Yang ada hanyalah aku sendiri dan Allah SWT. Setelah puas mengadu kepada Allah, aku menghubungi Andre supaya mengizinkanku tinggal lagi dirumahnya. Alhamdulillah dengan senang hati ia mengizinkan. “Datang aja ruq!”, katanya. Aku segera kerumahnya. Semalam aku menginap dikamarnya. Besoknya aku pulang. Alhamdulillah rumahku sudah hangat. Ternyata pemanas ruangannya udah berfungsi. Memang harus menunggu satu hari supaya mesin pemanas ini berfungsi, karena memang sudah lama tidak terpakai. Perasaanku membaik. Aku meminta andre untuk tinggal dirumahku. Untuk sekedar menemaniku. Untungnya dia mau. Akupun punya sahabat karib baru di Jerman. Andre ini anaknya kritis, hobinya membaca, tapi dia juga anak metal, hobinya juga mengoleksi piringan hitam grup band metal. Rambutnya terurai panjang. Mengangguk angguk kalau dengar lagu metal. Namun walaupun dia anak metal ternyata dia anak nya sangat baik. Tulus banget membantu tapi sayang dia jarang shalat. Namun demikian karena anaknya kritis, ia selalu debat dengan ku masalah agama. Dia banyak bertanya tentang Islam, kenapa begini, kenapa begitu. Dia begitu mengidolakan filosof filosof hebat dengan pemikiran pemikiran mereka Bung Hatta dan Bung Karno salah satunya. Bahkan tidak jarang ia dengar pidato Bung Karno yang menggetarkan jiwa pemuda di situs Youtube. Akupun jadi ikut asyik mendengarkan.  Lalu kutanya kenapa dia tidak mengidolakan nabi Muhammad SAW, dia jawab dia tidak mengidolakan nabi Muhammad karena dia fikir nabi Muhammad terlalu sempurna untuk diikuti dicontoh dan diidolakan, seperti di negeri khayalan saja. Aku hanya tertawa, dasar jawaban yang aneh. Dan kamipun melanjutkan diskusi tentang Islam. Begitulah aku menghabiskan minggu pertama dijerman bersama Andre dengan diskusi2 yang aneh. :D . aku begitu terhibur.
Salah satu sudut kota Bonn
Setelah hari libur natal usai, aku segera memikirkan lagi tentang perdaftaran Studienkolleg ku. Aku lihat informasi di internet bahwa batas pendaftaran Studienkolleg itu 15 Januari. lumayan masih ada waktu untuk bisa daftar. Tapi teman, kalau aku telat dari tanggal 15 Januari, aku harus daftar lagi semester depan, sekitar bulan Juni. Padahal biaya tinggal di jerman selama 6  bulan itu tidak murah. Ternyata teman, bener bener membuat aku hampir gila, hampir semua Studienkolleg sudah menutup pendaftarannya pada bulan november lalu. Ya Allah, aku salah melihat informasi di Internet. Kebetulan Andre ini juga belum dapat Studienkolleg. Ia juga mendaftar bareng sama aku, kita kirim berkas lewat pos. Aku sendiri hanya bisa daftar satu Studienkolleg  yaitu di kota kecil Koethen, kota kecil dekat Berlin ibukota Jerman. Lama aku tunggu aku belum juga mendapat balasan yaitu surat undangan untuk ikut ujian tes masuk. Aku segera kirim email ke beberapa  guru Studienkolleg Koethen  yang alamat emailnya tercantum diwebsite. Hasilnya pun nihil. Tak seorangpun yang membalas emailku. Daftar cuman satu Studienkolleg dan tidak ada balasan itu sakitnya tuh disini. Hhe. Nasibku di Jerman semakin tidak jelas. Padahal banyak teman teman di Indonesia yang berkata, “wah hebat ya udah sekolah di Jerman.” Padahal aku disini masih merasa sampah. Kegiatanpun tak ada. Tak ada satu prestasipun yang bisa aku banggakan. Aku harus segera mencari jalan keluar. Aku yakin pabrik pembuat gembok tidak akan membuat gembok tanpa kuncinya. Demikian juga Allah tidak akan membuat sebuah permasalahan tanpa ada jalan keluarnya.
Aku sangat ingat ketika Andre melihatku sedang bingung dan sedih,, ia berkata, “ Ruq, lu bakal melihat cahaya itu beberapa tahun lagi ruq, yakin ruq!!”. Ini kata kata gila yang membuatku hampir menangis. Sungguh memotivasiku.
Aku harus mencoba berbagai kemungkinan, plan A, plan B, plan C dst. Aku memutuskan untuk mencoba ikut ujian Studienkolleg privat di kota Leipzig, Jerman Timur. Studienkolleg privat itu sangat mahal kalau dibandingkan dengan Studienkolleg negeri yang nyaris tanpa biaya. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus sekolah jika ingin memperpanjang visaku atau kalau tidak, pihak imigrasi akan memulangkan ku ke Indonesia.
Segera aku pergi ke Leipzig dan alhamdulillah setelah aku mencari cari tumpangan di PPI Leipzig dari Facebook, ada satu orang yang mau memberiku tumpangan. Di Leipzig aku menginap beberapa hari. Disitu aku dapat nasihat dari teman baruku, ia berkata “kenapa kamu mau masuk studienkolleg privat padahal kamu belum mencoba untuk ikut tes studienkolleg negeri. Sayang sekali kan, kamu harus coba masuk studienkolleg negeri dulu”. Dia menasihatiku begitu, padahal dia sendiri juga sedang sekolah di Studienkolleg Privat. J Benar kata dia, aku mulai berfikir, kenapa aku udah menyerah, padahal aku belum mencoba, lebih baik aku daftar sekolah bahasa lagi di Berlin sembari aku menunggu semester selanjutnya. Sip, aku memutuskan untuk tidak datang hari H ujian masuk studienkolleg Privat padahal beberapa hari sebelumnya aku sudah daftar.
Aku segera ke Berlin dan daftar ke sebuah sekolah Bahasa paling murah di sana. Aku kontrak 3 bulan tapi aku bilang aku bayar 2 bulan dulu, nanti sisanya bayar belakangan soalnya uangku menipis untuk biaya sejak kedatanganku di Jerman. Untungnya dibolehkan dan alhamdulillah aku sudah pegang kontrak kursus yang bisa kupakai untuk perpanjang visa nantinya. Kursus di Berlin dimulai bulan Maret nanti. Di Berlin aku tinggal 2 hari satu malam, namun aku tak punya tempat menginap, padahal hari itu diluar sangat dingin, suhunya sekitar -2 derajat. Tapi belum bersalju. Sampai kulit tangan saja sakit rasanya klo gak pake sarung tangan.   Gak mungkin aku nginap di stasiun, hotelpun aku gak punya cukup uang. Tapi untung saat aku jalan jalan di Bradenburgertor bersama satu orang kenalanku, aku bertemu anak Indonesia lain yang menyapaku duluan. Dan kami ngobrol dan ia bertanya dimana aku menginap. Aku jawab aja “ah, gampang itu, cowok bisa nginep dimana aja” sok tegar, padahal sebenernya aku berharap juga ia akan menolongku. Dia gak tega kalau seandainya aku tidur di Stasiun. “kalau musim panas sih aku bodo amat kamu mau nginep dimana, tapi sekarang musim dingin, gak mungkin kamu tidur diluar.” Begitu katanya. Akhirnya dia mau menolongku dan memberiku tumpangan semalam. Alhamdulillah...
Berlin bersalju keesokan hari nya ;). Setelah selesai urusanku di Berlin, aku segera pulang ke Bonn, oh iya, aku baru ingat, kalau aku sudah tidak punya rumah lagi di Bonn, karena saat masih di Leipzig kontrak rumahku sudah habis, waktu di Leipzig itu aku belum bisa pulang ke Bonn karena aku masih harus ke Berlin. Tapi barang barangku dirumah lama harus pindah. Bagaimana kalau begitu. Lagi lagi untung ada Andre yang mau menunggui rumahku dulu. Dialah yang mengemasi semua barangku dari rumah lama dan memindahkan lagi ke rumah Dimas, padahal barangku itu tidak sedikit. Dia sendirian yang mengangkat barang2ku dan memindahkannya kerumah Dimas. Baik banget lo ndre...Suatu saat aku pernah melihat pesan Line di HP andre, bagaimana ia merayu Dimas supaya Dimas mengizinkanku tinggal lagi dirumahnya. Andre memuji mujiku didepan Dimas bahwa aku anak yang baik dan rajin shalat. Dia jamin bahwa aku gak macam macam kalau tinggal dirumah Dimas, Andre juga bilang kalau aku gak merokok, sehingga akhirnya Dimaspun mengijinkanku untuk tinggal lagi dirumahnya. Akupun terharu, Terima kasih banyak Andre.
Andre

Sesampainya di kota Bonn, itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Dimas. Anaknya baik dan suka membantu juga. Aku tau dia begitu karena memang dia pernah merasakan bagaimana susahnya dulu ketika ia juga membutuhkan bantuan orang lain. Satu masalah sudah selesai yaitu ketakutanku kalau saja visa ku tidak bisa diperpanjang karena tidak ada aktivitas. Ya, aku sudah daftar sekolah bahasa di Berlin walau biaya hidup nantinya tentu tidak murah.
Sekitar satu minggu setelah itu, tiba tiba aku dapat email dari seorang ibu ibu dari Indonesia, dia memberitahuku kalau ternyata berkasku dulu yang aku kirim ke Studienkolleg Koethen tidak Jelas, maksudnya ada beberapa hal yang tidak aku isi, sehingga aku tidak dapat surat balasan. Ternyata yang mengirimiku email itu adalah seorang ibu yang anaknya sedang studi juga di Studienkolleg Koethen, anak itu diberi tahu gurunya kalau ada anak indonesia yang mengirim berkas dan tidak jelas, sehingga anak tadi segera memberi tahu ibunya di Indonesia supaya menghubungiku. Anak itu bernama Nina, nina fikir aku masih di Indonesia, sehingga ia memberi tahu ibunya yang di Indonesia, setelah aku balas email ibunya dan aku beri tahu bahwa aku sekarang sudah dijerman, ibunya segera memberiku nomer handphone nina. Semoga berhasil kata ibunya. Aku segera menelpon nina dan nina memberitahuku kalau aku harus segera mengirim email ke Frau Bentham, dialah guru yang menerima berkasku dan memberitahu Nina kalau berkasku kurang jelas. Tanpa berfikir lama aku segera kirim email ke Frau Bentham aku jelaskan semua yang dari berkasku kurang jelas, dan besoknya beliau membalas emailku satu kali, lalu aku balas lagi dan beliau sudah tidak membalas lagi, ternyata beliau sedang pergi ke Inggris bersama suaminya kata Nina.
Alhamdulilllah aku berfikir ini ada harapan bahwa aku bisa masuk studienkolleg negeri di Koethen. Hanya tugasku sekarang follow up dan tetap rajin mengirim email ke frau Bentham walau tidak dibalas. Tapi lama kelamaan aku juga merasa frustasi karena tidak pernah dibalas, kayaknya memang aku ditakdirkan untuk ikut semester depan saja. Gak mungkin banget bisa masuk studienkolleg semester ini. Terlalu cepat dan terlalu memaksakan kataku. Akupun sekarang tidak terlalu berharap lagi.
Aku diajak Andre jalan jalan ke kota Aachen, andre janji akan mengenalkanku ke seseorang yang bisa menginspirasiku, dia bilang kalau temannya di Aachen ini pasti cocok kalau ketemu aku. Aku iya kan aja. Sesampainya di Aaachen, kota tempat pak Habibie dulu belajar memang sangat indah. Kota perbatasan Jerman Belanda. Disini aku dipertemukan Andre dengan orang yang bernama mas Ghani. Memang orang yang luar biasa. Bahkan kubilang sangat luar biasa. Perjuangan yang sangat panjang darinya bisa aku jadikan cambuk bagiku saat aku berputus asa. Bayangkan saja saat aku diajak ke perpustakaan Universitas RWTH tempat pak Habibie dulu, aku diajak ngobrol dan ia bercerita banyak tentang kehidupannya. Ia datang ke Jerman dengan biaya yang sangat minim, hanya uang saku dari orang tuanya senilai 300 euro dan sebuah kartu nama teman ayahnya. Uang segitu hanya cukup untuk hidup satu bulan. Bahkan kurang. Dia juga datang sendiri ke Jerman. Bagaimana dengan uang yang hanya segitu ternyata dia sekarang sudah hampir menjadi sarjana Diploma (setara Master) di Universitas RWTH yang terkenal sulit masuk dan sulit keluar!? Bagaimana pula dengan uang segitu ia bisa hidup selama 10 tahun di Jerman. Ia menasihatiku bahwa orang yang berhasil di Jerman adalah orang yang pandai dan baik hubungannya dengan Allah, sebab tidak sedikit teman dia yang gagal ditengah studinya di jerman karena jeleknya hubungan dengan Allah. Suatu saat ia juga cerita bahwa ia pernah tidak punya uang sedikitpun lalu ia ke masjid dan bedoa dan berpasrah kepada Allah, tiba tiba ada orang arab yang mendekatinya dan bertanya kepada mas ghani apakah mas Ghani punya masalah keuangan, kalaupun ya, besok mas ghani disuruh datang lagi kemesjid lagi. Mas ghani pun besoknya diberi uang olehnya yang jumlah nya cukup untuk hidup satu bulan. Dari mana orang arab ini tau kalau mas ghani punya masalah keuangan? Allah lah yang tau jawabannya.
Mas Ghani

Mas ghani juga tidak mudah menyerah, ia tidak malu pula untuk bekerja untuk bisa melanjutkan studinya di RWTH. Ia tidak malu masuk ke toko toko di kota Aachen sampai kota Cologne dan bertanya apakah ada pekerjaan buat dia, sampai akhirnya ia dapat kerja dan bahkan ia bisa mengirim uang kepada ibunya di Indonesia. Sungguh orang yang luar biasa pantang menyerah. Kami pun menjadi sahabat baik, senang sekali aku punya teman di Aachen yang rajin shalat di Masjid dan mengikuti kegiatan islam di Aachen.
Sepulangnya dari Aachen tiba tiba aku punya fikiran untuk pergi dan tinggal di koethen saja, “mending aku langsung bertanya ke kantor sekretariatnya tentang berkasku.” Fikirku. Siapa tau ada kebijakan lain. Akhirnya sekitar sebulan sebelum ujian tes masuk, aku datang ke kota koethen. Di Koethen aku tinggal di rumah teman nya Andre yang bernama teguh. Lagi lagi aku bertemu dengan anak yang tidak kalah baiknya dari mas Ghani. Sesuai namanya, anak ini memang sangat teguh karena banyaknya masalah yang datang dan ia mampu untuk bertahan, ternyata dia sudah satu setengah tahun di Jerman dan ia sama sekali belum pernah dapat kiriman uang dari orang tuanya di Indonesia, anaknya benar benar hemat dan mandiri. Ia kerja sebagai pencuci piring kotor di sebuah restoran dekat rumahnya, tidak sedikit yang mengejeknya kuproy, kuli proyek. Karena memang teman teman nya tidak ada yang kerja. Tapi ia tidak malu. Hebat aku fikir. Aku harus banyak belajar dari orang orang seperti ini.
Sebulan sebelum hari ujian tes masuk aku sudah tiba di kota Koethen. Fikirku nanti pas hari H, aku datang ke Studienkolleg dan langsung tanya ke sekretariat tentang berkasku, siapa tau gurunya berbelas kasihan kepadaku dan membolehkan aku untuk ikut ujian masuk. Namun beberapa hari sebelum ujian tes masuk aku coba datang ke bagian sekretariat dan bertanya tentang kejelasan dokumen yang kukirim dulu, aku coba klarifikasi kesalahanku dalam dokumen yang kukirim dulu. Ternyata ditolak mentah mentah, aku disuruh daftar lagi semester depan, dengan dalih banyak dokumen lain yang belum dia balas dan diberi surat undangan untuk ikut ujian masuk. Kata guru bagian sekretariatnya sambil menunjukkan dokumen dukumen lain yang bertumpuk tumpuk yang tidak diberi balasan olehnya. “lihat itu dokumen dokumen yang tidak saya balas” katanya dalam bahasa Jerman. Akupun diam seribu bahasa. Makasih bu aku bilang dan izin keluar ruangan. Akupun udah mulai pesimis. Bahkan dengan kedatanganku ke kota Koethen dan bertanya ke sekretrariat langsung pun tidak begitu bermanfaat. Aku pulang ke rumah teguh dengan rasa kecewa.
Satu hari menjelang ujian masuk Studienkolleg datang 5 anak dari kota Aachen yang menumpang dikamar sebelah kamar teguh. Ternyata anak anak ini juga memiliki masalah yang sama denganku. Mereka mengirim berkas ke Studienkolleg namun juga belum dapat balasan. Mereka ingin klarifikasi masalah mereka. Mereka juga berinisiatif untuk datang pas hari H ujian masuk siapa tau dapat ijin untuk ikut ujian masuk. Mereka pun mengajakku untuk ikut datang ke Studienkolleg. Namun aku udah terlanjur pesimis untuk diijinkan ikut ujian masuk. Ya karena sebelumnya aku udah datang ke sana dan bertanya. Malam harinya teman teman belajar bareng, aku diam aja dikamar. Boro boro belajar, besok aku mau datang juga nggak.
Besoknya aku bangun pagi. Jam enam pagi teman teman siap siap berangkat ke Studienkolleg, mereka mengajakku lagi, akupun bilang okelah, aku ikut. Tanpa persiapan belajar. Cuman mau lihat anak anak yang mau ikut ujian masuk. Pasti rame. Ternyata memang sangat rame. Nah temen teman 5 orang tadi datang ke kantor sekretariat. Memohon untuk diijinkan ikut ujian masuk. Ternyata hasilnya sama sepertiku. Ditolak. Gak bisa karena sudah banyak yang daftar dan kursi ujian terbatas. Teman teman pada kecewa dan masih sangat berharap untuk diijinkan.
Namun tiba tiba keajaiban itu datang untukku,  aku dengar ada orang yang bilang, eh itu frau bentham. Ternyata frau Bentham sudah datang dari liburannya di Inggris. Langsung saja aku datangi beliau dan aku bilang nama saya Asadul Islam Al Faroq, sontak beliau ingat dan langsung menjawab, oh kamu Al Faroq. Sini ikut saya ke kantor saya, sayapun diajak ke kantor beliau, tiba tiba aku semangat. Betapa baiknya beliau. Pokoknya baik banget deh. Akupun menjelaskan kalau aku sudah S1 namun ingin mengulang lagi S1. Aku jelaskan juga alasannya. Akhirnya beliau memberiku sesobek kertas yang tertulis disitu namaku, tanggal lahir, nama beliau dan tanda tangan beliau dan nomer urut. Kata beliau ni kamu pake daftar ulang ke panitia ujian biar kamu bisa ikut ujian. Alhamdulillah, aku diijinkan untuk ikut ujian. Siapa sangka, akupun ternyata lulus ujian itu. Sementara temanku 5 orang tadi dia belum diberi kesempatan lulus ujian. Betapa senang hatiku bisa lulus. Aku segera kabari kedua orang tuaku. Aku yakin bahwa ini semua tidak lepas dari doa mereka.
Studienkolleg Koethen Anhalt

Setahun aku belajar di Studienkolleg sebagai persiapan sebelum masuk ke Universitas di Jerman, tak mengapa aku sekolah lagi S1, toh aku dapat ilmu yang baru juga. Yang penting ilmunya dulu, titel belakangan. Satu demi satu teman dan sahabat baru kutemui, dari awal nya satu orang sehingga sekarang banyak sekali, terlebih dalam tali persaudaran ukhuwwah Islamiyyah, sehingga berbagai kegiatan, kenangan telah kulalui disini. Pernah juga aku dapat kesempatan menemani tim Trans7 saat meliput acara penghafal quran cilik dunia di Hamburg,
Bersama Trans7 di Hamburg
pernah juga aku dapat kesempatan jalan jalan bersama rektorat UIN Surabaya di Berlin dst.
Banyak pengalaman berharga yang kulalui yang tidak kuceritakan semua disini. Dan alhamdulillah tepat satu tahun lamanya akupun lulus dari Studienkolleg dimana beberapa teman belum diberi kesempatan untuk lulus. Dan sekarang aku sudah siap menuntut ilmu lagi di Universitas. Masih kuingat selalu kata Andre dulu bahwa aku akan melihat cahaya itu beberapa tahun mendatang. Dan aku telah melihat seberkas cahaya itu sekarang. Dan aku akan terus mencari dan menuju cahaya itu. Insha Allah..
Demikianlah kawan pengalamanku saat awalku merantau kenegeri orang. Banyak hal yang belum aku ceritakan, tapi aku yakin keberhasilan yang aku raih saat ini tidak pernah lepas dari doa dari orang orang yang aku cintai dan orang orang yang mencintaiku terutama keluargaku. ini juga ada video tentang kegiatan kami di Studienkolleg Koethen. https://www.youtube.com/watch?v=9qrIP4fu_6Y .
Jangan pernah menyerah selama kaki masih bisa melangkah, tangan masih bisa menyentuh, mata masih bisa melihat, mulut masih bisa berkata, telinga masih bisa mendengar, otak yang masih bisa berfikir dan hati yang masih bisa merasakan nikmat nya Iman...:)
Musim Salju di Koethen
Aku terinspirasi dari banyak orang dan semoga aku bisa menginspirasi banyak orang juga. Doakan aku menjadi orang yang bisa berguna bagi orang banyak, khairunnasi anfauhum linnasi, sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Amin Allahumma Amin..





untukmu Indonesiaku.

Tanah airku tidak kulupakan
kan terkenang selama hidupku
biarpun saya pergi jauh
tidak kan hilang dari kalbu
tanah ku yang kucintai
engkau kuhargai

walaupun banyak negeri kujalani
yang masyhur permai dikata orang
tetapi kampung dan rumahku
disanalah kurasa senang
tanahku tak kulupakan
engkau kubanggakan.....:')

16 komentar:

  1. penuh perjuangan, smoga dpt menuju cahaya ksuksesan...:)

    BalasHapus
  2. tabadduli masya'irr...
    d tunggu crita-crita slnjutnya,..
    fighting :)
    خير كم أنفعهم للناس....

    BalasHapus
  3. keren sob...!!!! kesuksesanmu tergantung dgn seberapa keras usahamu...!!! ingat sob, Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya.....!!!!! dan itu semua akan jadi kisah menarik bagi anak2 ente dan kebangaan bagi kami teman - teman armada masa depan graduate 2009

    BalasHapus
  4. Pertolongan Allah tidak datang terlalu cepat atau terlalu lambat, tapi tepat pada waktunya, sangat menginspirasi (y)

    BalasHapus
  5. SubhanAllah... kok bisa ya fokus dalam suatu hal ketika keadaan tidak mendukung..hehe
    keren! menginspirasi sekali..

    BalasHapus
  6. allahu mustaan mbak soesi...:)

    BalasHapus
  7. Allahu akbar...
    Mannajah tadzz...
    Smoga bsa nyusul....ustadzi...

    .......tholibukum....

    BalasHapus
  8. Assalamu'alaikum warahmatullah akhi. Salam kenal sebelumnya, ijin bertanya. Antum mendapat beasiswa kah untuk dapat lanjut studi ke Jerman? Kalau boleh tau beasiswa apa ya akhi? Syukron, wassalamu'alaikum warahmatullah

    BalasHapus
  9. Assalamu'alaikum warahmatullah akhi. Salam kenal sebelumnya, ijin bertanya. Antum mendapat beasiswa kah untuk dapat lanjut studi ke Jerman? Kalau boleh tau beasiswa apa ya akhi? Syukron, wassalamu'alaikum warahmatullah

    BalasHapus
  10. ketiga kalinya baca, dan kuputuskan untuk turut komen!! keren!!! I am motivated, and inspired

    BalasHapus
  11. Assalamualaikum kak boleh minta alamat email atau nomor telfonnya?? ada yang mau saya konsultasikan

    BalasHapus
  12. Kalau bisa kirimkan email ke saya yaa :)

    BalasHapus